TANGERANG – Polemik kenaikan tunjangan DPRD Kabupaten Tangerang bukan sekadar masalah keuangan, melainkan cermin telanjang dari rapuhnya tata kelola pemerintahan, tumpulnya etika pejabat, dan krisis kepercayaan publik.
Peristiwa ini mengungkap bahwa di balik layar kekuasaan, para pemangku jabatan kerap mengabaikan akuntabilitas demi kepentingan pribadi, hingga akhirnya dipaksa mundur oleh gelombang kemarahan publik.

Cacat Administrasi Berbau Politis
Penerbitan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 1 Tahun 2025 oleh Penjabat (Pj) Bupati Andi Ony Prihartono adalah jantung dari skandal ini. Tindakan ini secara terang-terangan menabrak rambu-rambu hukum. Menurut Permendagri No. 1 Tahun 2023, Pj Kepala Daerah dilarang mengambil keputusan strategis yang berdampak pada keuangan daerah tanpa izin Mendagri.
Kenaikan tunjangan sebesar ini jelas merupakan keputusan strategis yang menggerus kas daerah. Pertanyaan mendesak yang harus diajukan adalah: Mengapa seorang Pj Bupati, yang seharusnya netral dan menjaga stabilitas, mengambil keputusan kontroversial yang menguntungkan segelompok kecil elite, tepat sebelum masa jabatannya berakhir?
Langkah ini bukan hanya cacat hukum, tetapi juga menunjukkan adanya dugaan motif politis atau “hadiah perpisahan” yang mengkhianati amanah rakyat. Perbup ini tidak lebih dari sebuah bom waktu fiskal yang sengaja ditinggalkan untuk pejabat berikutnya.
DPRD Kabupaten Tangerang: Mengkhianati Akuntabilitas
Reaksi dari DPRD Kabupaten Tangerang semakin memperparah krisis ini. Pernyataan Ketua DPRD Muhammad Amud yang awalnya membantah adanya kenaikan adalah sebuah kebohongan publik yang memalukan.
Dokumen yang bocor ke media membuktikan adanya niat untuk memanipulasi informasi dan meredam protes. Ini adalah perbuatan yang sangat fatal bagi sebuah lembaga yang mewakili suara rakyat.
Tindakan ini tidak hanya melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik, tetapi juga menunjukkan betapa hilangnya sensitivitas moral. Di saat rakyat berjuang menghadapi biaya hidup yang tinggi, para wakil mereka justru sibuk menambah pundi-pundi sendiri.
Kemenangan Rakyat, Pukulan bagi Oligarki Lokal
Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa kekuatan kontrol publik adalah benteng terakhir demokrasi. Peran krusial mahasiswa, aktivis, dan media yang berani melakukan investigasi dan turun ke jalan berhasil memaksa para pemangku jabatan untuk menarik kembali kebijakan yang merugikan rakyat.
Langkah cepat Bupati definitif Rudy Maesal untuk membatalkan Perbup tersebut, meskipun terlambat, adalah pengakuan bahwa sistem pemerintahan masih bisa dikoreksi. Namun, hal ini tidak cukup. Pemerintah harus melakukan audit menyeluruh untuk mengungkap semua keputusan Pj Bupati sebelumnya yang berpotensi merugikan keuangan daerah dan memberikan sanksi tegas bagi pihak-pihak yang terlibat.
Tanjakan Terjal Menuju Keadilan Fiskal
Polemik tunjangan DPRD ini adalah sebuah alarm. Ini adalah cerminan dari masalah yang lebih besar di pemerintahan daerah: lemahnya pengawasan, minimnya transparansi, dan dominasi kepentingan elite.
Kasus ini harus menjadi momentum bagi masyarakat Kabupaten Tangerang untuk terus mengawasi setiap kebijakan yang dikeluarkan, memastikan bahwa setiap rupiah dari uang pajak digunakan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir politikus.
Besaran Tunjangan yang Dipersoalkan
Dalam Perbup Nomor 1 Tahun 2025 (yang kini dibekukan):
Ketua DPRD: Rp43.500.000
Wakil Ketua: Rp39.400.000
Anggota: Rp35.400.000
Tunjangan Transportasi:
Ketua Rp22 juta
Wakil Rp21 juta
Anggota Rp19 juta
Mahasiswa dari sejumlah organisasi melakukan aksi damai di depan Gedung DPRD Kabupaten Tangerang. Mereka menuntut :
Pencabutan Perbup No. 1 Tahun 2025.
Klarifikasi atas pernyataan “tidak ada kenaikan” oleh pimpinan DPRD.
Transparansi keuangan DPRD
Permintaan maaf dari Ketua DPRD
Jaminan tidak ada tindakan represif terhadap massa. Dalam responsnya, Ketua DPRD mengakui keresahan publik dan menyampaikan permintaan maaf. “Saya atas nama lembaga menyampaikan permohonan maaf jika ini menimbulkan keresahan publik.” Senin, 1 September 2025